Kenapa harus Wisuda?
Setiap mahasiswa
mempunyai jatah wisuda.
Itulah
kalimat yang pernah saya tulis dalam tulisan di blog beberapa waktu lalu saat
seorang teman wisuda. Saat itu saya belum wisuda. Tapi keinginan meraih gelar
wisudawan itu sudah menerawang di pikiran. Kita hanya cukup percaya pada Allah dan
berusaha untuk mewujudkannya karena setiap mahasiswa mempunyai jatah. Tinggal
kita saja yang pilih, mau mendapatkan dengan waktu cepat, tepat, lama, atau
tidak sama sekali. Sekali lagi, setiap mahasiswa punyai jatah wisuda. Kamu
ambil, maka dapat. Alhamdulillah keinginan menjadi Sarjana Keperawatan tercapai
setelah menempuh 3 tahun 10 bulan walau wisuda di akhir bulan November 2015.
Memang.
Wisuda ini tidak wajib. Yudisium sudah meresmikan gelar. Sebagian lagi
menganggap wisuda tidak penting. Tidak masalah, setiap orang punya keputusan
dan persepsi sendiri. Barangkali karena wisuda membuat pengeluaran dana yang
cukup banyak, apalagi jika resepsi yudisium dan wisuda berlangsung dalam jangka
waktu yang singkat.
Yang
sulit itu adalah ketika kita tidak ingin wisuda, tapi kampus mengharuskan
wisuda jika ingin mendapatkan ijazahnya. Kalau yang begini, ambil sisi baiknya
saja sob. Wisuda tidak selamanya huru-hara. Mungkin tulisan ini bisa menjadi
sedikit memberi warna bagi anda yang tidak setuju dengan wisuda. Kenapa harus
wisuda?
1.
Wisuda untuk
Orang tua
2.
Menjadi
Mahasiswa yang Pandai Bersyukur
3.
Wisuda itu Menularkan
Semangat
Nah,
nah, ini yang menurut saya juga amat penting. Dengan wisudanya kita, sama
artinya kita sedang menularkan manfaat kepada teman dan adik yang belum wisuda.
Teman-teman akan bergilir merebut toga untuk mereka kenakan. Menularkan hal-hal
positif sangat didukung dan sangat bermanfaat. Hati-hati, selain menularkan
semangat, dengan wisudanya kita kadang membuat orang lain menjadi galau. Tapi
setidaknya kita berhasil membuat mereka berpikir dan memutar otak untuk
sesegara mungkin menyelesaikan skripsinya yang sempat dihinggapi sarang laba-laba.
Eaaaa... Jangan lupa, doa yang mereka ucapkan selayaknya kita balas kembali
agar mereka disegerakan seperti kamu.
4.
Bersegeralah!
Bersegeralah
wisuda.
Sulit,
Sis! Iya, iya. Saya tau. Kalau ada yang komen seperti itu, saya cuma bisabilang
kalimat pertama sebagai pembuka tulisan ini. Percayalah, seberat apapun derita
menjadi mahasiswa, setiap mahasiswa punya jatah untuk wisuda. Yang penting
adalah percaya diri. Saya juga pernah merasakan jerih payah menjumpai dosen,
nunggu dosen berjam-jam bahkan berhari-hari. Temen saya malah berbulan-bulan
nunggu dosennya yang pulang pergi dari luar negeri. Belum lagi kalau ketemu
masih banyak coretan sana-sini yang harus diperbaiki.
Abang
saya bahkan harus beberapa kali ganti pembimbing karena tsunami tahun 2004
lalu. Giliran dapat dosen pembimbing baru, yah... pembimbingnya malah minggat
dari Aceh. Mahasiswa pasti punya “derita” walau deritanya Allah berikan
berbeda-beda setiap orangnya. Tapi saya lakukan sebisa mungkin. Seperti halnya
saya yang saat itu mendapat jatah sidang 3 hari setelah penutupan wisuda bulan
Agustus dari rektorat. Hiks... ngenes banget. Tapi tak masalah, setidaknya saya
masih bisa menyiapkan dana lebih untuk persiapan wisuda bulan November.
Saya
tidak mau menunda-nunda. Karena bagi saya, wisuda ini untuk orang tua. Membayangkan
ibu tersenyum manis melihat anaknya memakai baju toga sudah bikin hati
berdebar-debar. Karena tidak semua orang tua merasakan mengenakan baju toga
semasa ia dulu. Baju toga adalah barang mahal dan sakral yang tidak mungkin
bisa dijait sendiri kemudian dikenakan sesuka hati.
Bersegera.
Bersegera wisuda agar ibu bisa melihat saya menggunakan baju toga. Karena
menunggu dari bulan Agustus sampai November itu membuat saya takut, takut umur
saya yang tidak sampai. Bersegera karena cukup ayah yang saya tidak bisa
melihat senyumnya. Berharap almarhum ayah mendengar saya wisuda yang meninggal
tahun 2014 lalu tentulah mustahil sebagai
seorang muslim. Berharap ia tersenyum bangga sudah mampu mensekolahkan
keenam-enam anaknya sampai wisuda juga tidaklah mungkin. Hanya doa yang bisa
saya lakukan sekarang dan pembuktian bahwa saya juga bisa sukses berkat
limpahan cinta dari ayah dan ibu.
5.
Mari Bersiap
Belum
lagi kalau ada kasus dengan teman yang nyeletuk gini, “Hai, kita susah banget
dulu masuk di kampus dan jurusan ini. ngapain cepat-cepat wisuda.”
Tolong
didoakan teman-teman kita itu ya, biar move on. Karena tandanya mereka
sedang galau tingkat tinggi. Kalau memang bisa bantu lebih dari doa, lebih
baik. :)
Kita
harus move on bahwa hidup ini bukan sekadar menjadi mahasiswa. Hidup ini
terus berputar. Syukur-syukur kalau bisa jadi mahasiswa S1, terus jadi
mahasiswa S2, dan S3. Lha ini masih S1 mulu, kan sayang umur. Sayang impian
yang udah ngantre untuk diperjuangkan.
Aktivitas
kampus memang seru. Semangat muda masih menggebu-gebu itu teraktualisasi disana.
Bersyukurlah bagi eks mahasiswa yang semasa ngampus diisi dengan mengerjakan
hal-hal positif. Tapi tantangan bukan hanya di dunia kampus. Kita perlu lari
setelah berhasil mengumpulkan amunisi untuk pergi ke medan perjuangan
berikutnya. Kembali untuk menyambut pengalaman baru selepas sarjana. Bukankah
warna hidup begitu banyak? Jangan pilih hanya satu.
Tapi
menjadi wisudawan juga harus berhati terhadap 2 poin di bawah ini:
1.
Hati-Hati dengan
Sombong
Hati-hati!
Barangkali tersirat rasa sombong ketika kita menggunakan baju toga. Wisuda kadang menyingkirkan kita dari orang
tua. Kita lebih dekat ke teman-teman atau doi. Orang tua dikacangin. Foto-foto
sama orang tua cuma 2 kali jepret, sama teman-teman puluhan. Giliran minta uang
untuk balenin teman-teman, juara. Serasa bahwa kita berhasil wisuda berkat diri
sendiri, tak ada bantuan dari keluarga. Bangga boleh, tapi jangan lupa diri
dari pengorbanan dan bantuan orang lain. Belum lagi ada yang pegang prinsip
wisuda harus bawa pasangan. Perbayar. Pakai duit orang tua pula! Belum berani
nikah dan masih minta duit orang tua, tapi udah berani bawa anak orang lain.
Aduh, banyak-banyak beristighfar. Mungkin yang bigini namanya wisuda huru-hara.
Mending satu hari itu dihabiskan waktu bareng orang tua. Dengan siapa lagi kita
berbagi kebahagiaan jika bukan pada orang-orang terdekat?
2.
Jangan mau jadi
wisudawan boros
Biar nggak ngeluarin banyak biaya, kita harus pintar-pintar untuk hemat. Hemat bukan
pelit. Kalau wisudawan pria sih mudah saja. Cukup pinjam ja dan dasi (jika perlu) udah
tuntas urusannya. Nah, yang biasa menghabiskan banyak biaya adalah wisudawan
wanita. Memang saya belum mendapatkan penelitian tentang hal ini. Tapi bisa
kita lihat sendiri bagaimana ribetnya wisudawati, mulai dari pakaian kebaya/gaun,
aksesoris, make up, sepatu, dan tas. Pengeluaran perlengkapan wisudawan wanita kadang mengalahkan mahalnya
biaya wisuda! Daripada jait baju mewah yang cuma dipakai 1 kali dalam seumur
hidup, mending dipertimbangkan lagi untuk menyewa atau meminjam saja. Begitu
juga perlengkapan lainnya. Lagian pakaian toh tidak terlalu tampak karena tertutup
baju toga.
Biarlah
dikira tidak punya modal banget, setidaknya nggak buat orang tua kita susah.
Ini pelit atau hemat? Well, silahkan mengukur diri, manfaat dan mudaratnya.
Barangkali dari kita ada yang biasa ke kondangan dan show kemana-kemana jadi perlu banyak baju, tentu beda dong
persepsinya.
*Amalia Masturah
(Mahasiswa Profesi Ners, penulis 13 antologi buku, pemilik Ia Safasna Design, Penggagas
Gerakan Aku Anak Kampung, Alumni Forum Indonesia Muda 14B, Anggota PW IPM Aceh
dan A3R, blogger yang doyan upload foto dan nulis di Ig yang sibuk berdinas di
RS dan sesekali menjadi peserta, moderator, MC, dan pembicara di beberapa
acara)
wahhh postingan yang menarik
BalasHapusSaleum dari TAZAMBLOG
makasi Multazam.
BalasHapussalam kenal. :)
wisuda memang penting mbak selain buat orang tua secara tidak langsung itu memberi kebanggaan bagi diri kita sendiri.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat website gratis yukk disini saja. terimakasih
BalasHapusin shaa allah sebentar lagi wisuda
BalasHapus