Resensi Buah Kebahagiaan dari Kesederhanaan"

Judul Buku: Ayahku (bukan) Pembohong
Pengarang : Tere Liye
Tebal buku : 304 halaman
Penerbit : Gramedia

Kebahagian itu muncul dari hati. Harta benda hanyalah pelengkapnya. Kebahagian itu adalah seberapa besar rasa syukur dan tentramnya hati kita atas apa yang kita miliki saat ini. Kebahagiaan itu kesederhanaan. Ya, mungkin inilah kesimpulan setelah membaca buku Tere Liye kali ini. Buku yang akhirnya dapat kuselesaikan sekitar 2 hari di selah-selah menjaga kasir di toko ini memberikan energi positif bagiku yang sedang liburan semester ini.

Terkisahlah seorang anak yang bernama Dam dengan ayah dan ibunya. Ayahnya suka sekali bercerita. Sejak kecil Dam mendengar cerita ayahnya yang membuatnya berbinar-binar. Cerita-cerita itulah yang kemudian membuat karakter sendiri bagi Dam. Ia berhasil bertanding renang, menjadi pribadi yang baik, semua itu berkat cerita dari ayahnya.
Cerita-cerita itu kemudian membuat penasaran bagi Dam ketika menginjak bangku SMA di Akademi Gajah tempat yang membuka pikirannya melambung ke cerita-cerita ayahnya.

Sebagai pembaca, aku menikmati novel ini, dengan alur maju-mundur yang lihai ditulis Tere Liye dan dengan plotnya yang menarik membuat penasaran tiap babnya. Ada banyak hal yang kudapat dari novel ini. Yah..setidaknya dari novel ini mengajarkanku bagaimana bertutur kata yang sopan kepada orang tua yang kadang pada zaman sekarang kita tidak memperhatikannya.

Untuk menjadi besar tidak harus menjadi orang besar. Dengan kesederhanaan hal itu dapat diraih dan pada saat itu kita akan mengerti arti kebahagiaan.Hingga akhirnya Dam masuk perguruan tinggi ia masih saja mencaari kebenaran dari cerita ayahnya. Begitu banyak analisa dan pencariannya selama ini tentang kebenaran cerita itu.

Walaupun ada 5 kata dari buku ini yang salah ketik, makna dari bukunya dapat. Dari buku ini aku bisa belajar memaknai husnulzhon, berbaik sangka, terlebih pada orang tua. Oh, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku jika menjadi Dam.

Namun, ada pertanyaan yang masih mengganjal di pikiranku, bagaimana mungkin sekolah Dam itu tidak terdata di internet dalam ceritanya. Mengapa tidak dijelaskan juga di akhir cerita?

Selain itu, surat anak Dam dalam cerita yang masih berusia 8 tahun yang ditujukan pada ayahnya agaknya terlalu dewasa. Kata-katanya terbilang besar dari usia 8 tahun membuatku sedikit tak nyaman membacanya. Hehe.
Sip, lebihnya aku suka. Aku suka gaya bercerita Tere Liye yang sangat lihai memainkan alur cerita. Pada akhirnya, ada banyak hal yang dapat aku petik dari novel ini yang insyaAllah bermanfaat mengenai kehidupan dan kesederhanaan. Dan tentu saja, pertanyaan dan rasa penasaran serta muak Dam akhirnya terjawab di akhir cerita. Sempat aku sebagai pembaca mengeluarkan air mata membacanya. Ini cerita bagus untuk dibaca siapa saja. Apalagi dengan ukuran 304 halaman yang tergolong tidak tebal, cocok bagi orang yang kurang gemar membaca buku terbal sekalipun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Renang Pakai Rok dan Kaos Kaki So What Gitu Lho

Persembahan Puisi dari Rizky di International Thalassemia Day

5 Alasan Kenapa Kamu Sebaiknya Nggak Coret-Coret Baju SMA Setelah Lulus